Pada
era 1900-an, Kyai Samanhoedi sudah menjadi orang yang terpandang dan kaya raya.
Perusahaan batik yang dirintis dari kampung Laweyan Solo dapat berkembang
pesat, mempunyai cabang di Surabaya, Banyuwangi, Bandung dan Tasikmalaya.
Bahkan sudah sampai ke Negeri Belanda. Pada mulanya memang hanya membuat batik
tulis halus asli buatan tangan yang menggunakan canthing itu. Dikarenakan batik
halus asli itu pembuatannya membutuhkan waktu yang relatif lama, sedangkan
kebutuhan pasar membanjir, maka muncullah ide. Bagaimana caranya memproduksi
batik dengan cara yang lebih cepat dan mutunya tetap disukai pasar? Akhirnya
untuk mengatasi hal itu dilakukan dengan memproduksi batik dengan teknik batik
cap. Cara ini bisa memproduksi batik secara besar-besaran, untuk mencukupi
pesanan dari berbagai cabang-cabang yang tersebar di Jawa Timur sampai Jawa
Barat, hingga sampai wilayah Hindia Belanda.
Haji
Samanhoedi Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Siapakah pengusaha batik yang
memunculkan adanya Revolusi Batik dan kaya raya dari Laweyan Solo tadi? Beliau adalah Haji Samanheodi sang pahlawan
kemerdekaan nasional. Ditetapkan dengan Kepres Presiden Soekarno Nomor 540
tanggal 29 Nopember 1961. Lalu, bagaimana bisa pengusaha batik secara tiba-tiba
menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional? Berikut Ceritanya : Memang Haji
Samanhoedi disamping mempunyai filing bisnis yang kuat dan sukses, ternyata
juga mempunyai jiwa seorang pejuang. Ketika usaha batiknya mengalami masa
kejayaan, terkenal sampai ke luar negeri. Haji Samanhoedi mendirikan sebuah
organisasi yang dirintis dari perkumpulan “Rondha Kampung” yang bernama “Reksa
Rumeksa” hingga menjadi organisasi dengan nama Sarekat Islam (SI) atau ada yang
menyebut dengan SDI (Sarekat Dagang Islam) tahun 1912. Pada saat itu usia Haji
Samanhoedi adalah 34 tahun, lahir di Laweyan Solo tahun 1868.
Dalam
Pengawasan Pihak Belanda
SI berkembang dengan pesat meskipun
pada saat itu masih Indonesia masih terjajah. SI sudah berani mengadakan
konggres I (di Solo tanggal 25 Maret 1913), Haji Samanhoedi terpilih menjadi
Ketuanya. Dengan 48 cabang di berbagai kota, satu cabang memiliki anggota
kurang lebih 200.000 orang bertuliskan aksara Jawa. Dengan maksud agar sulit
dibaca oleh kaum penjajah. Sarekat Islam semakin pesat, Haji Samanhoedi juga
sering bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia seperti Haji Agus Salim,
Ki Hajar Dewantara, H.O.S. Tjokroaminoto, dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya.
Disini, Haji Samanhoedi mengajak kaum pribumi untuk bersatu, berjuang bersama
melawan penjajah, menuju Indonesia yang merdeka. Seiring dengan berjalannya
waktu, lama-kelamaan aksi provokasi ini diketahui oleh Belanda. Pada saat itu
Gubernur General Belanda William Frederick Idenburg (1909-1916) memerintahkan
supaya SI-SI cabang mendirikan AD/ART sendiri-sendiri (local) pisah dengan
AD/ART SI pusat yang ada di Solo. Dengan demikian gerak gerik SI dapat
dikontrol oleh Belanda. Usaha dari Belanda pun berhasil, terjadi perpecahan
antara CSI (Central Sarekat Islam) dan SI-SI lokal. SI lokal akhirnya dapat
dikendalikan oleh Belanda.
Bintang
Maha Putera dari Bung Karno
Untuk menghormati jasa dan
perjuangan Haji Samanhoedi dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi melalui
organisasi. Pemerintah telah memberikan penghargaan Bintang Maha Putra kepada
Haji Samanhoedi yang diberikan langsung oleh Presiden Soekarno, di Istana
Merdeka Jakarta pada tanggal 15 Februari 1960, diterima oleh wakil keluarga
Haji Samanhoedi yaitu Soekamto Samanhoedi, putera dari Kyai Haji Samanhoedi.
Hadiah
berupa rumah dari Bung Karno
Meskipun Haji Samanhoedi dengan
usaha dagangnya yang sukses, tetapi beliau tetap menjadi pribadi yang
sederhana. Suka membantu terhadap siapa saja yang membutuhkan. Uang hasil
usahanya sedikit demi sedikit habis hanya untuk membiayai perjuangannya, untuk
dana driah, Haji Samanhoedi merupakan pribadi yang dermawan, berjiwa sosial
tinggi dan tidak ingin melihat bangsanya sengsara. Hingga akhirnya hartanya
ludes sampai tidak punya tempat tinggal. Melihat kondisi ini, Bung Karno
tergerak untuk memberikan hadiah rumah hasil rancangannya sendiri kepada Haji
Samanhoedi, sebagai perintis kemerdekaan yang bertempat di Kampung Laweyan
Solo.
Disini ada tamabahan sedikit
mengenai pengalaman Haji Samanhoedi ketika pergi Haji tahun 1904. Wiryowikoro
(nama dari beliau sebelum naik haji) ketika berada di Jeddah setelah dari
Mekkah, bermimpi lidahnya menjadi panjang hingga membelit seluruh dunia.
Menurut ahli tafsir, mimpi yang diceritakan oleh Haji Samanhoedi, memberikan
petunjuk bahwa nantinya Kyai Haji Samnhoedi akan menjadi pemimpin yang
berpengaruh di negaranya.
Berikut biografi singkat dari Kyai
Haji Samanhoedi : Lahir di Solo tahun 1868. Pendidikan : Madrasah (SR) 6 tahun,
mengaji di pesantren Sidosermo Surabaya. Umur 13 tahun HIS di Madiun. Wafat di
Klaten 28 Desember 1956 dan dimakamkan di Kampung Mbanaran, Laweyan, Sukoharjo.