Rabu, 27 Februari 2013

KYAI HAJI SAMANHOEDI, PAHLAWAN KEMERDEKAAN Kaya tetapi tidak memiliki rumah Kekayaannya habis untuk berjuang melawan penjajah


         Pada era 1900-an, Kyai Samanhoedi sudah menjadi orang yang terpandang dan kaya raya. Perusahaan batik yang dirintis dari kampung Laweyan Solo dapat berkembang pesat, mempunyai cabang di Surabaya, Banyuwangi, Bandung dan Tasikmalaya. Bahkan sudah sampai ke Negeri Belanda. Pada mulanya memang hanya membuat batik tulis halus asli buatan tangan yang menggunakan canthing itu. Dikarenakan batik halus asli itu pembuatannya membutuhkan waktu yang relatif lama, sedangkan kebutuhan pasar membanjir, maka muncullah ide. Bagaimana caranya memproduksi batik dengan cara yang lebih cepat dan mutunya tetap disukai pasar? Akhirnya untuk mengatasi hal itu dilakukan dengan memproduksi batik dengan teknik batik cap. Cara ini bisa memproduksi batik secara besar-besaran, untuk mencukupi pesanan dari berbagai cabang-cabang yang tersebar di Jawa Timur sampai Jawa Barat, hingga sampai wilayah Hindia Belanda.

Haji Samanhoedi Pahlawan Kemerdekaan Nasional
            Siapakah pengusaha batik yang memunculkan adanya Revolusi Batik dan kaya raya dari Laweyan Solo tadi?  Beliau adalah Haji Samanheodi sang pahlawan kemerdekaan nasional. Ditetapkan dengan Kepres Presiden Soekarno Nomor 540 tanggal 29 Nopember 1961. Lalu, bagaimana bisa pengusaha batik secara tiba-tiba menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional? Berikut Ceritanya : Memang Haji Samanhoedi disamping mempunyai filing bisnis yang kuat dan sukses, ternyata juga mempunyai jiwa seorang pejuang. Ketika usaha batiknya mengalami masa kejayaan, terkenal sampai ke luar negeri. Haji Samanhoedi mendirikan sebuah organisasi yang dirintis dari perkumpulan “Rondha Kampung” yang bernama “Reksa Rumeksa” hingga menjadi organisasi dengan nama Sarekat Islam (SI) atau ada yang menyebut dengan SDI (Sarekat Dagang Islam) tahun 1912. Pada saat itu usia Haji Samanhoedi adalah 34 tahun, lahir di Laweyan Solo tahun 1868.

Dalam Pengawasan Pihak Belanda
            SI berkembang dengan pesat meskipun pada saat itu masih Indonesia masih terjajah. SI sudah berani mengadakan konggres I (di Solo tanggal 25 Maret 1913), Haji Samanhoedi terpilih menjadi Ketuanya. Dengan 48 cabang di berbagai kota, satu cabang memiliki anggota kurang lebih 200.000 orang bertuliskan aksara Jawa. Dengan maksud agar sulit dibaca oleh kaum penjajah. Sarekat Islam semakin pesat, Haji Samanhoedi juga sering bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia seperti Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, H.O.S. Tjokroaminoto, dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Disini, Haji Samanhoedi mengajak kaum pribumi untuk bersatu, berjuang bersama melawan penjajah, menuju Indonesia yang merdeka. Seiring dengan berjalannya waktu, lama-kelamaan aksi provokasi ini diketahui oleh Belanda. Pada saat itu Gubernur General Belanda William Frederick Idenburg (1909-1916) memerintahkan supaya SI-SI cabang mendirikan AD/ART sendiri-sendiri (local) pisah dengan AD/ART SI pusat yang ada di Solo. Dengan demikian gerak gerik SI dapat dikontrol oleh Belanda. Usaha dari Belanda pun berhasil, terjadi perpecahan antara CSI (Central Sarekat Islam) dan SI-SI lokal. SI lokal akhirnya dapat dikendalikan oleh Belanda.

Bintang Maha Putera dari Bung Karno
            Untuk menghormati jasa dan perjuangan Haji Samanhoedi dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi melalui organisasi. Pemerintah telah memberikan penghargaan Bintang Maha Putra kepada Haji Samanhoedi yang diberikan langsung oleh Presiden Soekarno, di Istana Merdeka Jakarta pada tanggal 15 Februari 1960, diterima oleh wakil keluarga Haji Samanhoedi yaitu Soekamto Samanhoedi, putera dari Kyai Haji Samanhoedi.

Hadiah berupa rumah dari Bung Karno
            Meskipun Haji Samanhoedi dengan usaha dagangnya yang sukses, tetapi beliau tetap menjadi pribadi yang sederhana. Suka membantu terhadap siapa saja yang membutuhkan. Uang hasil usahanya sedikit demi sedikit habis hanya untuk membiayai perjuangannya, untuk dana driah, Haji Samanhoedi merupakan pribadi yang dermawan, berjiwa sosial tinggi dan tidak ingin melihat bangsanya sengsara. Hingga akhirnya hartanya ludes sampai tidak punya tempat tinggal. Melihat kondisi ini, Bung Karno tergerak untuk memberikan hadiah rumah hasil rancangannya sendiri kepada Haji Samanhoedi, sebagai perintis kemerdekaan yang bertempat di Kampung Laweyan Solo.
            Disini ada tamabahan sedikit mengenai pengalaman Haji Samanhoedi ketika pergi Haji tahun 1904. Wiryowikoro (nama dari beliau sebelum naik haji) ketika berada di Jeddah setelah dari Mekkah, bermimpi lidahnya menjadi panjang hingga membelit seluruh dunia. Menurut ahli tafsir, mimpi yang diceritakan oleh Haji Samanhoedi, memberikan petunjuk bahwa nantinya Kyai Haji Samnhoedi akan menjadi pemimpin yang berpengaruh di negaranya.
            Berikut biografi singkat dari Kyai Haji Samanhoedi : Lahir di Solo tahun 1868. Pendidikan : Madrasah (SR) 6 tahun, mengaji di pesantren Sidosermo Surabaya. Umur 13 tahun HIS di Madiun. Wafat di Klaten 28 Desember 1956 dan dimakamkan di Kampung Mbanaran, Laweyan, Sukoharjo.

1 Komentar untuk "KYAI HAJI SAMANHOEDI, PAHLAWAN KEMERDEKAAN Kaya tetapi tidak memiliki rumah Kekayaannya habis untuk berjuang melawan penjajah"

Kusnadi mengatakan...

Artikel ini melengkapi pengetahuan saya yang tidak banyak mengenai bagian dari sejarah bangsa kita yang jarang diungkapkan dengan lengkap. Meskipun demikian mengenai didirikannya SDI ada yang menyatakan tahun 1905. Dengan demikian masih tersisa pertanyaan mana yang benar : tahun 1905 atau 1912?

Posting Komentar

 
 
Copyright © 2013-Kiamat. Wahyu's Blogs - All Rights Reserved
Design by Wahyu Adhy | Powered By Blogger.com