Minggu, 03 Februari 2013

SEJARAH : Dai Too-a Senshoo = Perang Asia Timur Raya

  • Musyawarah Persuratkabaran Asia Timur Raya
  • Propaganda dan Sensor Jepang di Pulau Jawa
   Seperti apakah pentingnya propaganda (termasuk pers, persuratkabaran), hingga diadakannya Musyawarah Persuratkabaran Asia Timur Raya di Tokyo pada bulan November 1943. Lebih dari 40 wartawan dari seluruh penjuru Asia Timur Raya (Tiongkok, Manchukuo, Thailand, Filipina, Hongkong, Malaka, Sumatera, Kalimantan dsb) menghadiri undangan musyawarah tersebut, sementara dari Dai Nippon sendiri diwakili 40 wartawan. 
        Dilihat dari fakta diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Jepang mempunyai niat yang baik dalam mempersatukan Indonesia, meski sengaja memisah-misahkan Pulau satu dengan pulau lainnya di Nusantara. Dapat diketahui bahwa dalam Musyawarah itu yang menjadi perwaklian dari Sumatera adalah Djamalauddin Adinegoro, pemimpin Surat Kabar Sumatera Shimbun. Dari tanah Jawa ada Raden Toekoel Soerohadinoto (Surat Kabar Suara Asia Surabaya), perwakilan Kalimantan A.A. Hamidhan (Borneo Shimbun), dari Sulawesi Manai Sophan serta Ambon Ot Pattimbau. Tetapi yang menjadi pokok utama dalam musyawarah adalah membahas tentang bagaimana caranya memberikan penerangan terhadap rakyat di Asia Timur di Negaranya masing-masing dalam memajukan kesejahteraan dan mempererat hubungan antar negara di kawasan Asia Timur Raya. 
         Pada masa pendudukan Jepang, semua kegitan sangat dibatasi, termasuk juga dengan kebebasan Pers. Jumlah koran yang terbit di Jawa setiap hari tidak boleh lebih dari 80.000 lembar dengan hanya terdiri dari 2-4 halaman. Selain koran, terdapat juga majalah Pandji Pustaka (Balai Pustaka) yang semula terbit mingguan menjadi terbit tengah bulan meskipun kelanjutannya ditutup penerbitannya, hingga muncul lagi Majalah Indonesia Merdeka (Djawa Hokokkai), ada lagi Surat Kabar Djawa Baroe dan Soeara Masjoemi yang diperuntukkan untuk komunitas Islam. Untuk tentara Jepang sendiri juga disediakan Surat Kabar Djawa Shimbun. Itulah beberapa surat kabar yang terbit di Jawa, sementara surat kabar yang terbit di luar jawa lebih sedikit daripada yang terbit di Jawa. Selain itu juga pembacanya juga lebih sedikit dengan persediaan kertas yang sedikit pula. 
            Pemerintah Jepang sendiri tidak membiayai terbitnya koran-koran tersebut. Semuanya dipercayakan kepada perusahaan penerbitan Jepang. Seperti Asahi Shimbun, Mainichi Shimbun dan Yomiuri Shimbun. Dengan redakturnya dari orang-orang Indonesia sendiri, sementara untuk pengawas dan pemimpinnya (shidookan) tetap dari Jepang. Bukan hanya Koran saja yang diawasi Pemerintah Jepang, Radio NIROM (Ned. Indische Radio Omroep Maatschappij) milik pemerintah Hindia Belanda dan PPRK (Perserikatan Perhimpunan Radio Ketimuran) yang dikelola bangsa Indonesia juga tidak luput dari pengawasan pihak Jepang, Oleh Pemerintah Jepang dijadikan satu dan diberi nama Radio Hoosoo Kyoku, Kantor Radio Jepang. Dan untuk orang-orang Jepang sendiri, setiap hari ada siaran warta berita berdurasi satu jam. Untuk bangsa Indonesia, setiap setengah jam ada siaran berita dengan bahasa Jepang sederhana berdurasi lima menit. Selain itu ada juga siaran berbahasa Jawa, Sunda, Madura. Karena pada saat itu masih banyak rakyat Indonesia yang belum mempunyai pesawat radio, maka disetiap keramaian, seperti Alun-Alun, Stasiun, dan tempat-tempat ramai disediakan panggung yang diisi dengan Radio, dengan catatan rakyat dilarang keras untuk mendengarakan siaran Radio musuh Jepang. Jika ada rakyat yang kedapatan mendengarkan Radio musuh, langsung diseret ke Kenpei, disiksa sampai babak belur. Maka dari itu, pada waktu kepemilikan Radio harus terdaftar dan disegel, sehingga pendengar tidak bisa mendengarkan gelombang lain selain gelombang Radio yang telah mendapat izin pemerintah Jepang. 
           Selain Koran dan Radio, Bioskop juga diawasi oleh pemerintah jepang dengan film yang boleh diputar seputar film-film yang dibawa tentara Jepang. Sedangakan film-film buatan Negara musuh samasekali tidak diperbolehkan untuk diputar. 
         Untuk persuratan, selama tiga bulan terakhir, rakyat tidak bisa berkirim surat dari satu kota ke kota lain, yang jelas jalur kota Jakarta-Bandung, Jogja dan Surabaya lumpuh total akibat Jembatan Kereta yang rusak, dikarenakan hal itu, perbaikan baru dilakukan setelah 2-3 bulan pasca perang di Jawa. Baru sekitar bulan Oktober 1942 jawatan pos di Jawa bisa berkarya dan bekerja secara normal. Meskipun ada kebijakan dari pemerintah Jepang yang berisi : Surat harus ditulis di Kartupos dan menggunakan huruf Kanji. Semuanya disensor di Kantor Pos terlebih dahulu sebelum akhirnya dikirim ke tujuan. 
           Semua itu dilakukan Pemerintah Jepang hanya untuk mempertahankan rezimnya di tanah jajahannya. Maka dari itu, Sedenbu (Bagian Propaganda) sangat menonjol pada saat itu. Akan tetapi, meskipun sensor pers dan media sangat ketat, wartawan Indonesia masih bisa membuat pihak Jepang memanas dengan munculnya rubrik-rubrik yang menyindir pemerintah Jepang namun dalam gaya bahasa Indonesia. 
Bersambung.......................

Belum ada komentar untuk "SEJARAH : Dai Too-a Senshoo = Perang Asia Timur Raya"

Posting Komentar

 
 
Copyright © 2013-Kiamat. Wahyu's Blogs - All Rights Reserved
Design by Wahyu Adhy | Powered By Blogger.com